LAPORAN PRATIKUM II FILUM ANNELIDA


LAPORAN PRATIKUM  II
FILUM ANNELIDA


Oleh :
Syahirul Alim (1512220022)



Dosen Pembimbing:
Rismala Kusuma, M.Kes


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) RADEN FATAH PALEMBANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Biasanya cacing bersegmen atau beruas-ruas, tubuhnya terdiri dari deretan segmen sama (matameri), artinya tiap segmen tersebut mempunyai organ tubuh seperti alat reprpduksi, otot, pembuluhb darah dan sebagainya  yangtersendiri tetapi segmen tersebut tetap berhubungan satu sama lain tetap terkordinasi. Terdapat selom yang besar dan jelas, beberapa sistem organ seperti peredaran darah, sistem syaraf telah berkembang dengan baik (Rusyana, 2014)
Bagian kepala terdiri atas prostomium dan bersegmen pertama (Periostomium). Pada prostomium terdapat sepasang tentakel kecil dan sepang palp (embelan yang berguna sebagai alat peras dan membatu ketika makan). Peristomium mempunyai 4 pasang tentakel yang panjang. Segmen-segmen berikutnaya memiliki sepang parapodia (semacam kaki berdanging) dengan rambut yang banyak. Alat pencernaan makanan terdiri atas: mulut, faring, esofagus, usus, anus. Antara dinging tubuh dan intestin terdapat salom yang berisi alat ekskresi (nepridium) dan alat kelamin. Sistem peredaran darah terdiri atas pembuluh darah dorsal yang memompa darah kedepan, pembeku darah pentrasl yang mengalirkan darah kebagian belakang. Pembuluh darah lateral adalah yang menghubungan kepala organ-organ yang lainnya. Dinding tubuh disusun oleh kutikula, epidermis, otot melingkr dan otot memanjang (Rusyana, 2014).
Cacing tanah merupakan komponen yang penting pada ekosistem tanah, karena ikut berperan dalam proses humifikasi, memperbaiki aerasi, mengolah material organik dan menstabilkan derajat keasaman tanah. Pori makro tanah,tekstur tanah dan kandungan material organik tanah dipengaruhi oleh diversitas makhluk hidup di sekitarnya seperti aktivitas cacing tanah yang ada (Darmawan, 2014).
Alih Penambahan pupuk organik ke dalam tanah meningkatkan populasi dan aktivitas cacing baik cacing kelompok dekomposer maupun cacing penggali tanah (ecosystem engineer). Cacing tanah dari kelompok ecosystem engineer beraktivitas dalam tanah baik secara vertikal maupun horizontal yang berperan dalam mencampur tanah dengan bahan organik (BO) dan memperbaiki struktur tanah. Aktivitas cacing tanah dari kelompok ecosystem engineer meninggalkan banyak liang dalam tanah sebagai ‘biopori’ yang meningkatkan porositas tanah dan laju infiltrasi di dalam  tanah (Gambar 1). Pada lahan pertanian adanya peningkatan infiltrasi dapat meningkatkan jumlah unsur hara tercuci ke lapisan tanah yang lebih dalam, salah satunya adalah unsur nitrogen (N) terutama dalam bentuk  NO3- karena lemahnya ikatan NO3- dengan permukaan liat yang bermuatan negatif (Hairiah, 2007). Pengangkutan air dan hara dari lapisan atas menuju lapisan bawah hingga groundwater terjadi melalui pori makro tanah terutama melalui lubang (burrows) yang dihasilkan oleh cacing tanah (Dominguez et al., 2004). Pemberian N dari pupuk buatan yang cepat tersedia dan jumlahnya melebihi kebutuhan tanaman dengan cepat akan tercuci. Penambahan N dalam bentuk organik, dapat mengurangi kehilangan NO3- lewat pencucian karena pelepasan terjadi secara bertahap (Amirat, 2014).
Di Indonesia penelitian yang mengevaluasi ‘trade-off’ dari efek perbaikan porositas tanah akibat penambahan BO dan aktivitas cacing penggali tanah (soil engineers) terhadap peningkatan pencucian N masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan, dalam suatu kondisi terkontrol dengan menggunakan sangkar cacing (planar cage) yang melibatkan peran cacing tanah yang paling umum dijumpai pada lahan-lahan pertanian yaitu Pontoscolex corethrurus. Penyediaan kondisi porositas dan ketersediaan NO3- yang bervariasi dalam tanah, maka perlakuan penambahan campuran BO (pangkasan kopi, Gliricidia dan durian) perlu ditambahkan untuk mengkontrol aktivitas cacing tanah; selain itu penambahan pupuk urea dan kombinasinya dengan pupuk organik juga dilakukan untuk mendapatkan kondisi ketersediaan NO3- yang beragam (Amirat, 2014).

1.2  Tujuan pratikum
Adapun tujan dari pratikum filum annelida yaitu :
Mengetahui marfologi dan anatomi cacing tanah (Lumbricus terestis)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Morfologi dan Anatomi
Bentuk morfologi dan anatomi pada cacing laut sangat beragam.  Umumnya berukuran 5-10 cm dengan diameter 2-10 mm.  Pada tiap sisi lateral ruas tubuhnya kecuali kepala dan bagian ujung posterior,  terdapat sepasang parapodia dengan sejumlah besar setae yang terdiri atas notopodium dan neuropodium, masing-masing disangga oleh sebuah batang khitin yang disebut acicula.  Pada notopodium terdapat cirrus dorsal dan pada neuropodium terdapat cirrus ventral.  Bentuk parapodia dan setae pada setaip jenis tidak sama.  Pada prostomium terdapat mata, antena dan sepasang palp (Suwigny,  2005).

2.2 Cacing tanah (L. terestris)
  Pada umumnya jumlah ruas tidak tetap, bervariasi sekitar 25%. Ruas-ruas tubuh cacing dewasa dapat di katakan sama bentuk dan ukurannya, kecuali bagian anterior dan poterior  Setengah dari ruas ujung  paling anterior  merupakan prostomium , yang adakalanya memanjang seperti belali.   Jumlah ruas atau somit pada cacing dewasa antara 115-200 buah, ruas pertama adalah prostomium yang mengandung mulut, dan ruas terakhir terdapat anus.  Pada tiap ruas terdapat 4 rumpun setae, 2 rumpun pada dorso-lateral dan 2 rumpun pada ventro-lateral (Aslan. 2007). 
Sihombing (1999) menyatakan kotoran atau feses cacing tanah yang bertekstur halus dan subur disebut eksmecat  (casting) cacing tanah. Istilah eksmecat pada casting, karena yang dimaksudkan dengan kasting oleh sebagian besarmenahan air sebesar 40-60%. Hal ini karena struktur kasting memiliki ruangan-ruangan yang mampu menyerap dan menyimpan air, sehingga mampu mempertahankan kelembaban (Venter dan Reinecke, 1988) Kualitas kasting ditentukan oleh beberapa parameter fisik, kimiawi dan biologis. Tingkat kematangan kasting secara fisik dapat ditentukan dari bau, warna, tekstur (ukuran partikel), temperatur dan kelembaban.  Kelembaban mempunyai peranan yang sangat penting di dalam memdeteksi keaktifan cacing tanah, karena hal ini sangat berhubungan dengan struktur fisik dan proses kehidupan cacing tanah yang serupa dengan hewan perairan dibandingkan dengan hewan terrestrial.
 Menurut Gaddie dan Douglas (1977) pada dasarnya penyiraman tergantung pada iklim dan daerah setempat. Pada kondisi iklim lembab, penyiraman tidak begitu penting dilakukan sesering mungkin dibandingkan dengan iklim kering maupun panas. Begitu juga daerah dengan rata– rata curuhan hujun tinggi , penyiraman tidak perlu dilakukan sesering mungkin. Pada daerah dingin media harus disiram hanya apabila dibutuhkan saat media tersebut dipertahankan pada kondisi kandungan air yang tidak terlalu lembab. Pada kondisi daerah kering maka penyiraman harus dilakukan sesering mungkin dalam sehari untuk mempertahankan kondisi temperatur dan kelembaban media supaya optimal. Cacing tanah sangat sensitive terhadap konsentrasi ion hydrogen, sehingga pH tanah merupakan faktor pembatas distribusi, jumlah dan spesies cacing tanah (Edwards and Lofty, 1977). Pengontrolan keasaman pada media cacing tanah mudah dilakukan dengan menggunakan kapur atau kalsium carbonat (CaCO3)
(Gaddie dan douglas, 1975). Sehubungan dengan hal -hal tersebut di atas melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai jenis cacing tanah yang paling optimal kualitas eksmecatnya melalui adalah 15cm. Penyiraman air dilakukan sekali per tiga hari dan banyaknya  penyiraman  penyiraman sesuai dengan perlakuan. Pembalikan media dilakukan sekali seminggu.

2.3 Habitat dan Penyebaran
Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir.  Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar  sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor.  Cacing tanah (L. terestris)  kebanyakan terdapat di air tawar, beberapa di air tawar , di laut, air payau dan darat.  Jenis akuatik umumnya terdapat pada daerah dangkal yang kurang dari 1 m, beberapa membuat lubang dalam lumpur, atau sebagai aufwuchus pada tumbuhan air yang tenggelam, adapula yang membuat selubung menetap atau yang dapat dibawa-bawa (Suwignyo, 2005).

2.3 Reproduksi dan Daur Hidup
Reproduksi pada Cacing laut (Nereis sp.), terjadi baik secara aseksul maupun seksual.  Reproduksi seksual terjadi dengan cara pertunasan dan pembelahan, namun kebanyakan hanya  melakukan reproduksi secara seksual  saja dan biasanya pada dioecious.  Pada dasarnya hampir semua menghasilkan gamit, namun pada beberapa jenis hanya beberapa ruas saja.  Pada beberapa jenis cacing dengan gamit yang telah matang akan berenang menjadi cacing pelagis, setelah tubuhnya koyok-koyok dan gamit berhamburan di air laut maka cacing tersebut mati, pembuahan terjadi di air laut (Suwignyo, 2005) 
Cacing tanah adalah hermafrodit dengan alat kelamin jantan dan betina pada bagian ventral atau ventro lateral.  Cacing dewasa kelamin ditandai dengan adanya klitelium (seperti cincin atau pelana berwarna muda mencolok melingkari tubuh sepanjang segmen tertentu) pada umur 2,5 bulan.  Untuk menghasilkan telur fertil, cacing harus mencari pasangan  dansalng menukar sperma yang akan membuahi sel telur.  Pembuahan akan terjadi dalam masing-masing lubang kelamin betina.  Setelah pembuahan, sepanjang permukaan klitelium akan mengeluarkan lendir yang akan mengeras dan bergerak ke belakang terdorong oleh gerak maju cacing.  Pada saat melewati lubang kelamin betina, telur-telur yang sudh dibuahi akan masuk ke dalam selubung kokon tersebut.  Kokon yang diletakkan pada kondisi lingkungan yang cocok akan menetas dalam 14-21 hari.  Jumlah telur dalam kokon beragam, biasanya lebih dari 10butir.  Tergantung spesies, cacing dewasa  mampu menghasilkan lebih dari 2 kokon setiap 5-10 hari.  Perhitungan kasar menunjukkan setiap 100 cacing dewasa dalam kurun waktu satu tahun dapat menghasilkan 100.000 cacing (Suwignyo, 2005) 


2.4 Makanan dan Kebiasaan Makan  
Cara makan Cacing laut (Nereis sp.) bermacam-macam sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karnivora, omnivora, herbivora dan adapula yang memakan detritus.  Pemakan endapan secra langsung maupun tidak  langsung, secara langsung dengan menelan pasir dan lumpur dalam lorongnya (sarangnya).  Mangsa terdiri dari berbagai  avertebrata kecil, yang ditangkap dengan pharynx atau probosis yang dijulurkan.    Umumnya Cacing tanah (L. terestris)  mendapat makanan dengan cara menelan substrat, dimana bahan organik yang melalui saluran pencernaan akan dicerna,  kemudian tanah beserta sisa pencernaan dibuang melalui anus.  Adakalanya makanan itu terdiri dari ganggang filamen, detritus atau diatom (Aslan, 2007).
2.5 Nilai Ekonomis
Cacing polychaeta merupakan makanan alami yang baik bagi udang windu (Peneaeus monodon)  di tambak, menjadikan warna udang lebih cemerlang sehingga menigkatkan mutu dan nilai jual udang tersbut (Aslan, 2007).
Dalam bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dalam struktur tanah.  Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik.  Keberadaan cacing tanah akan menigkatkan populasi mikroba  yang menguntungkan tanaman.  Selan itu juga cacing tanah dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak karena kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi.  Cacing juga merupakan sumber protein yang berpotensi untuk dimasukkan sebagai bahan makanan manusia seperti halnya daging sapi atau ayam, Cacing dapat diolah untuk digunakan sebagai pelembab kulit dan bahan baku pembuat lipstik (Suwignyo, 2005).
2.6  Ekologi Cacing Tanah 
Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana cacing tanah itu berada. Lingkungan yang dimaksud disini  adalah kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersamasama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhicacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH), (b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis, dan (g) suplai nutrisi (Suwignyo, 2005) .
Cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera UtaraKemampuan hewan ini dalam mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada ketersediaan jenis serasah yang disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah. (Edwards dan Lofty, 1977). 
Cacing tanah yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sekitar 1.800 spesies. Cacing tanah yang terdapat di Indonesia tergolong ke dalam famili Enchytraeidae, Glassocolicidae, Lumbricidae, Moniligastridae, Megascolicidae. Genus yang pernah ditemukan ialah Enchytraeus, Fridericia, Drawida, Dichogaster, Eudichaster,Pontoscolex, Pheretima, Megascolex, Perionyx dan Allolobophora. Dari hasil penelitian Sudarmi (1999) diketahui tiga spesies cacing tanah yang karakteristik hidup pada tumpukan sampah organik pasar yaitu spesies Megascolex sp, Peryonix sp dan Drawida sp.  Dari hasil penelitian (Arlen, dkk 1994), telah didapatkan tujuh spesies cacing tanah pada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan di timbunan sampah rumah tangga pada beberapa kecamatan Kotamadya Medan, yaitu Megascolex sp1, Megascolex sp2, Peryonix sp, Fridericia sp, Drawida sp, Pontoscolex corethrurus dan Pheretima sp (Suwignyo, 2005).
2.7  Manfaat Cacing Tanah 
Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” (intestines of the earth) (Suwignyo, 2005).
Cacing tanah selama ini diketahui sebagai makhluk yang berguna untuk menyuburkan tanah dan makanan ternak. Cacing tanah memiliki manfaat yang sangat besar, seperti di Korea selatan dan Taiwan cacing telah dikonsumsi oleh manusia untuk sumber protein hewani dan pengobatan tradisional, yang sangat di kenal sebagai Negara yang banyak mengekspor cacing tanah (Suwignyo, 2005).
Kegunaan cacing tanah sebagai penghancur gumpalan darah (fibrymolisis) telah di uji kebenarannya oleh Fredericq dan Krunkenberg pada tahun 1920. Selain itu, Mihara hisahi, peneliti asal Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing tanah yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Enzim tersebut kemudian dinamai lumbrokinase karena berasal dari cacing lumbricus. Kemudian enzim tersebut diproduksi secara komersial di Kanada sebagai obat stroke, mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung (ischemic) dan tekanan darah tinggi Di Australia pun dilaporkan ada masyarakat yang melahap cacing tanah mentah yang masih hidup karena dipercaya dapat menyegarkan badan (Khairulman dan Amri, 2009). Di RRC, Korea, Vietnam, dan banyak tempat lain di Asia Tenggara, cacing tahah terutama dari spesies Lumbricus sp, bisa digunakan sebagai obat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utarasejak ribuan tahun yang lalu. Hasil penelitian terhadap cacing tanah menyebutkan bahwa senyawa aktifnya mampu melumpuhkan bakteri patogen, khususnya Eschericia coli penyebab diare. Pengalaman nyata lain juga menyebutkan cacing tanah bermanfaat untuk menyembuhkan rematik, batu ginjal, dan cacar air. Di beberapa negara Asia dan Afrika, cacing tanah yang telah dibersihkan dan dibelah kemudian dijemur hingga kering, lazim dijadikan makanan obat (healing foods). Biasanya kering disantap sebagai keripik cacing (Suwignyo, 2005).
Gumilar (1993) menyatakan bahwa di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa, cacing tanah selain diolah sebagai makanan, juga digunakan untuk pupuk tanaman, bahan pembuat kosmetika serta obat-obatan. Misalnya di Jepang cacing tanah dimanfaatkan untuk produksi antidote (penawar racun) dan penurun demam. Penelitian lainnya dilakukan di Universitas Diponegoro dan Institut Teknologi Bandung yang menguji sensitivitas Salmonella typhi terhadap ekstrak cacing tanah secara in vitro. Hasil yang diperoleh menunjukkan ekstrak  cacing tanah spesies memberikan hasil yang efektif dalam menurunkan jumlah koloni Salmonella typhi.
BAB III
METODOLOGI PENELITAAN

3.1 Waktu dan tempat
Praktikum Zoologi Invertebrata tentang Filum Annelida dilaksanakan pada Rabu, 22 April 2016 pukul 10.00-12.00 WIB di Laboratorium Biologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang.

3.2 Alat dan Bahan
a. Alat
adapun alat yang digunakan dalam pratikum filum annelida (cacing tanah) yaitu silet, jarus pentol, sterofom, cutter.

b. Bahan
adapun bahan yang di gunakan dalam pratikum filum  annelida yaitu accing tanah (L.terestris).

3.3  Cara kerja
1.      Amatilah marfologi cacing di atas sterofom.
2.      Gambar dan hitung segmen pada cacing tanah
3.      Amatilah anatomi cacing
4.      Cacing yang di atas sterofom tusuk  dari kepala
5.      Potong dari ujung kepala dengan perlanan sampai anus cacing
6.      Amatilah dan gambar hasilnya













BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Pengamatan marfologi Lumbricus terrestris
Gambar
Gambar pengamatan
keterangan














1.      Prosmatomium
2.      Klitelium
3.      Seta
4.      Lubang genital
5.      Seminalis anus
6.      Septum


Tabel 2. Pengamatan anatomi Lumbricus terrestris
Gambar
Gambar pengamatan
keterangan

1.      Otak
2.      Jatung
3.      Pembuluh darah dorsal
4.      Lambung
5.      Prosmotium
6.      Nephiridium
7.      Testis
8.      Ovarium
9.      Usus
10.  Anus












4.2  Pembahasan
Dari pengamatan yang telah dilakukan telah diketahui bentuk morfologi dari cacing tanah (L. terestrisspesies kelas oligochaeta .   pengamatan terhadap anatomi, tubuhnya ditutupi oleh katikula dan bersegmen-segmen.  Mulut terdapat pada segmen tubuh yang pertama dan anus terdapat pada segmen terakhir.
Pada pengamatan cacing tanah  (L. terestris)   nampak bentuk morfologinya yaitu prostomium, klitelum, setae, mulut, segmen, dan anus. Menurut Suwignyo dkk. (2005) bahwa bagian-bagian tersebut memiliki fungsi masing-masing diantaranya mulut berfungsi untuk membantu menangkap mangsa.  Prostomium berfungsi sebagai tempat melekatnya organ tubuh bagian luar.  Klitelum merupakan epidermis yang menebal dan menutupi ruas-ruas reproduktif, terutama bagian dorsal sehingga bentuknya seperti pelana kuda yang berfungsi sebagai pembungkus telur pada saat terjadi perkawinan/pembuahan.  Anus berfungsi sebagai tempat keluarnya zat sisa atau kotoran-kotoran yang sudah tidak dibutuhkan lagi di dalam tubuh cacing tersebut.  Pada cacing tanah bergerak menggunakan setae untuk mencengkram atau membantu proses perkawinan.
 pembahasan tentang marfologi lumbricius terrestis , tubunya bulat memanjang, warna bagian dorsal lebih gelap di bandingkan ventral. Segmen tubuhnya lebih dari 100 buah yang masing-masing. Dnegan 4 pasnag rambut. Pada ujung depan (anterior) ada  suatu bagian atau tonjolan dagin yang di sebut prostomium (bukan merupakan segmen). Dinding tubuh terdiri kutikula, epidermis, dan otot memanjang. Bgaian selom memisahkan dinding tubuh dengan intestin antara segmen yang satu dengan segmen yang lain di pisahkan oleh sekat pemisah vertikal. Selaput yang membatasi dinding tubuh sebelah dalam disebut peritomium. Cairan-cairan  yang terdapat di  bagian selom membatu di dalam eksresi (Rusyana, 2014).
Gerak tubuh cacing tanah , pergerakan lambat, segmen dapat memanjang dan memendekan hingga cacing bergerak. Segmen dapat memnajang dan menendek karena dua sel pada dinding badannya terdapat otot lingkaran dan otot membujur. Bergerak secara berlawanan, apa bila otot  lingkaran mengkerut,  otot bujur akan memundur dan segmen pada badan ccacing mengecil dan memanjang. Cacing tanah ini memiliki kutikula, yang pada pengamtan terletak pada segmen ke 10. Memiliki prosmotium yang merupakan tonjolan daging yang berada pada bagian ujung depan dekat segmen ke 1. Memiliki lubanag genital yang terletak antara segmen prosmotonium dan klitelium memilki bagian-bagian lain seperti amanialis anus, septum, seta, L. Terestis berkelamin hemaflodit dan memiliki sistem peredran darah dan sistem pencernaan.

























BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dilihat dari hasil pengamatan bahwa morfologi pada cacing tanah (L.terestris) terdiri dari prostomium, klitelum, setae, mata, mulut, segmen dan anus. Dan  tubunya bulat memanjang, warna bagian dorsal lebih gelap di bandingkan ventral. Segmen tubuhnya lebih dari 100 buah yang masing-masing. Dnegan 4 pasnag rambut. Pada ujung depan (anterior) ada  suatu bagian atau tonjolan dagin yang di sebut prostomium (bukan merupakan segmen).
Gerak tubuh cacing tanah , pergerakan lambat, segmen dapat memanjang dan memendekan hingga cacing bergerak. Segmen dapat memnajang dan menendek karena dua sel pada dinding badannya terdapat otot lingkaran dan otot membujur. Bergerak secara berlawanan, apa bila otot  lingkaran mengkerut,  otot bujur akan memundur dan segmen pada badan ccacing mengecil dan memanjang.

5.2 Saran       
Sebagai praktikan sangat mengharapkan kepada teman-teman agar pada saat kita melakukan pengamatan semuanya terfokus pada apa yang diamati, dan melaksanakan kegiatan sesuai yang ditentukan. 










DAFTAR PUSTAKA




Aslan, dkk., 2005.  Bahan Ajar Avertebrata air.  Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo.  Kendari.

Edwards, C. A. and j . R. Lofty. 1977. Biology of Earthworm. Chapman and Hall, New York.

Gaddie,  R.  E. and  D.E. Douglas. 1975. Earthworms for Ecology and Profit. Volume I. Bookworm Publising Company. Ontario. Calofornia.

Rusyana, 2014. Zoologi Inverteberta. Bandung :Alfabeta

Suwignyo, S. dkk.  2005.  Avertebrata air.  Penebar Swadaya.  Jakarta.

Sihombing, D.T.H. 1999. Satwa Harapan I. Pengantar  Ilmu dan Teknologi Budidaya; Cacing Tanah, Bekicot, Keong Mas, Kupu-kupu, Ulat Sutera. Pustaka Wira Usaha Muda, Bogor.

Agusandi.  2013. Pengaruh Penambahan Tinta Cumi-Cumi (Loligo Sp) Terhadap Kualitas Nutrisi Dan Penerimaan Sensoris Mi Basah. Vol II NO I. Di akses hari Senin 2 April 2016. Pukul 07.00 Wib

Brotowidjojo. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga/
           
Jasin. 1992. Zoologi InvertebrataSurabaya : Sinar Wijaya.

Riyanto. 2003. Aspek- Aspek Biologi Keong Mas . Vol. 8 No. 1. Di akses hari jum,at 29 april 2016. Pukul 16.00 WIB.

Rusyana. 2014 Zoologi Invertebrata. Bandung: ALFABETA






Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN PRATIKUM VI FILUM ECHINODERMATA

LAPORAN PRATIKUM III FILUM MOLLUSCA

LAPORAN PRATIKUM FILUM NEMATHELMINTES