LAPORAN PRATIKUM VII FILUM PLATYHELMINTES


LAPORAN PRATIKUM  VII
FILUM PLATYHELMINTES


Oleh :
Syahirul Alim (1512220022)



Dosen Pembimbing:
Rismala Kusuma, M.Kes




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) RADEN FATAH PALEMBANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Platyhelminthes berasal dari bahasa yunani, Platy =Pipih dan Helminthes = cacing. Oleh sebab itulah Filum platyhelminthes sering disebut Cacing Pipih. Platyhelminthes adalah filum ketiga dari kingdom animalia setelah porifera dan coelenterata. Platyhelminthes adalah hewan triploblastik yang paling sederhana. Cacing ini bisa hidup bebas dan bisa hidup parasit. Yang merugikan adalah platyhelminthes yang hidup dengan cara parasit (Rusyana, 2014).
Filum Platyhelminthes dalam bahasa Yunani Platy : pipih dan Helmins : cacing. Platyhelminthes adalah filum yang mencakup semua cacing pipih kecuali Nemertea, yang dulu merupakan salah satu kelas pada Platyhelminthes, yang telah dipisahkan. Platyhelminthes adalah cacing daun yang umumnya bertubuh pipih. Cacing ini merupakan yang paling sederhana diantara semua hewan simetris bilateral. Platyhelminthes memiliki tubuh padat, lunak, dan epidermis bersilia. Cacing pipih merupakan hewan tripoblastik yang tidak mempunyai rongga tubuh (acoelomata). Sebagian besar cacing pipih, seperti cacing isap dan cacing pita adalah parasit. Namun, banyak yang hidup bebas yang habitatnya diair tawar dan air laut, khususnya dipantai berbatu dan terumbu (Jasin, 2005).
Platyhelminthes merupakan cacing yang berbentuk pipih dan mempunyai tubuh simetri radial. Ukuran tubuh dari cacing ini bervariasi mulai yang tampak mikroskopis beberapa milimeter hingga berukuran panjang belasan meter.  Sebagian besar cacing pipih tidak berwarna.  Sementara yang hidup bebas ada yang berwarna coklat, abu, hitam atau berwarna cerah. Warna ini disebabkan karena adanya pigmen pada tubuhnya. Bagian ujung anterior pada cacing ini berupa kepala. Pada bagian ventralnya terdapat mulut atau lubang genital. Mulut dan lubang genital ini jelas pada Turbellaria, tetapi tidak tampak jelas pada Trematoda dan Cestoda (Kastawi, 2005).
Filum ini terdiri atas 9000 spesies. Pemberian nama pada organisme ini adalah sangat cepat. Sejumlah besar hewan ini berbentuk hampir menyerupai pita. Hewan ini simetris bilateral dengan sisi kiri dan kanan, permukaan dorsal dan ventral dan juga anterior dan posterior. Cacing parasit ini mempunyai lapisan kutikula dan silia yang hilang setelah dewasa. Hewan ini mempunyai alat pengisap yang mungkin disertai dengan kait untuk menempel. Cacing pipih belum mempunyai sistem peredaran darah dan sistem pernafasan. Sedangkan sistem pencernaannya tidak sempurna, tanpa anus.  Tubuh pipih dosoventral dan tidak bersegmen. Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh Platyhelminthes adalah  Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2-3 cm). Bipalium yang hidup dibalik lumut lembap (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita (Suwignyo, 2005).

Jadi yang dapat dilakukannya praktikum ini adalah agar mahasiswa lebih mengetahui bagaimana ciri-ciri hewan Platyhelminthes, klasifikasinya dan bagaimana organ-organ dalam termasuk moefologi dan anatomi dari tubuh Platyhelminthes.

1.2  tujuan pratikum
Adapun tujuan dari praktikum Zoologi Invertebrata mengenai filum Platyhelminthes  adalah
a)      untuk  mengetahui struktur morfologi dan anataomi dari filum Platyhelminthes
b)      untuk mengetahui klasifikasi  dari filum Platyhelminthes.



BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1  Karakteristik Filum Platyhelminthes
Platyhelminthes merupakan cacing yang berbentuk pipih dan mempunyai tubuh simetri radial. Ukuran tubuh dari cacing ini bervariasi mulai yang tampak mikroskopis beberapa milimeter hingga berukuran panjang belasan meter.  Sebagian besar cacing pipih tidak berwarna.  Sementara yang hidup bebas ada yang berwarna coklat, abu, hitam atau berwarna cerah. Warna ini disebabkan karena adanya pigmen pada tubuhnya. Bagian ujung anterior pada cacing ini berupa kepala. Pada bagian ventralnya terdapat mulut atau lubang genital. Mulut dan lubang genital ini jelas pada Turbellaria, tetapi tidak tampak jelas pada Trematoda dan Cestoda (Kastawi, 2005).
Bentuk tubuh Platyhelminthes beragam, dari yang berbentuk pipih memanjang, seperti pita maupun seperti daun. Bagian tubuhnya ada yang tertutupi  oleh lapisan epidermis bersilia yang tersusun oleh sel-sel sinsitium  pada classis Turbellaria dan ada juga yang tertutup oleh kutikula pada classis Trematoda dan Cestoda. Kerangka luar dan dalam sama sekali tidak ada sehingga tubuhnya lunak. Bagian yang keras hanya ditemukan pada kutikula, duri, dan gigi pencengkram. Tubuhnya tidak mempunyai rongga tubuh (acoela). Ruangan-ruangan di dalam tubuh yang ada diantara berbagai organ terisi dengan mesenkim yang biasanya disebut parenkim (Kastawi, 2005).
Struktur tubuh Platyhelminthes yang tripoblastik yang terdiri atas lapisan ektoderm (tipis, mengandung sisik kitin dan sel-sel tunggal kelenjar, dilapisi kutikula yang berfungsi melindungi jaringan dibawahnya dan cairan hospes) lapisan endoderm (melapisi saluran pencernaan), lapisan mesoderm (jaringan yang membentuk otot, alat eksresi saluran reproduksi). Platyhelminthes tidak mempunyai rongga tubuh yang sebenarnya (aselomata). Kelas Turbellaria, hidup bebas. Sedangkan kelas Trematoda dan Cestoda bersifat parasit (Rusyana, 2014).
Cacing pipih (Playthelminthes) hidup di habitat-habitat laut, perairan tawar, dan daratan yang lembab. Selain bentuk yang hidup bebas, cacing pipih mencakup pula banyak spesies Flukes parasit, misalnya cacing hati () cacing pita (Tapeworm). Cacing pipih dinamai demikian karena mereka memiliki tubuh kurus yang memipih secara dorsoventral (antara permukaan dorsal dan ventral), Platyhelminthes berarti cacing pipih. Cacing pipih paling kecil merupakan spesies yang hidup bebas dan berukuran hampir mikroskopik, sementara beberapa cacing pita bisa mencapai panjang lebih dari 30 m. Walaupun cacing pipih mengalami perkembangan triploblastik, mereka merupakan aselomata (hewan yang tidak memiliki rongga tubuh) (Campbell, 2008).
Tubuhnya yang pipih menempatkan semua sel-selnya dekat dengan air di lingkungan sekitar atau di dalam saluran pencernaannya. Karena kedekatannya dengan air, pertukaran gas dan pembuangan zat bisa bernitrogen (amonia) dapat terjadi melalui difusi menyeberangi permukaan tubuh. Cacing pipih tidak memiliki organ yang terspesialisasi untuk pertukaran gas, dan apparatus ekskresinya yang relatif sederhana terutama berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan osmotik dengan lingkungannya. Aparatus terdiri atas protonefridia (protonephridia), jejaring tubula dengan struktur bersilia disebut sebagai sel api (flame bulb) yang menarik cairan melalui saluran bercabang-cabang yang membuka keluar. Kebanyakan cacing pipih memiliki rongga gastrovaskular dengan hanya satu bukaan. Meskipun cacing pipih tidak memiliki system sirkulasi, cabang-cabang rongga gastrovaskular yang halus mengedarkan makanan secara langsung ke sel-sel hewan (Campbell, 2008).
Platyhelminthes mempunyai alat kelamin yang tidak terpisah (hermafrodit), artinya dalam satu species terdapat alat reproduksi jantan maupun betina kecuali pada beberapa familia dari Digenia. Sistem reproduksi pada kebanyakan cacing pipih sangat berkembang dan kompleks. Pada kebanyakan cacing pipih telurnya tidak mempunyai kuning telur, tetapi dilengkapi oleh sel yolk khusus yang tertutup oleh cangkok telur. Pada classis platyhelminthes ada yang bisa melakukan pembuahan sendiri ada juga yang tidak dapat melakukan pembuahan sendiri. Yang bisa melakukan pembuahan sendiri adalah classis Trematoda dan Cestoda, sedangkan pada classis Turbellaria tidak dapat melakukan pembuahan sendiri (Kastawi, 2005).
Platyhelminthes belum mempunyai alat pernapasan khusus. Pengambilan oksigen bagi anggota yang hidup bebas dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuhnya sedangkan anggota yang hidup sebagai parasit bernapas secara anaerob, artinya respirasi berlangsung tanpa oksigen. Hal ini karena Platyhelminthes yang parasit hidup dalam lingkungan yang kekurangan oksigen. Cacing ini sudah mulai maju dalam hal sistem ekskresinya walaupun masih sangat sederhana. Selain itu Platyhelminthes sudah memiliki alat-alat pencernaan yang mendukung sistem pencernaannya antara lain terdiri dari mulut, faring, dan usus, walaupun pada classis tertentu ada yang tidak memiliki mulut yaitu Cestoda (Kastawi, 2005).
Habitat Platyhelminthes adalah di laut, perairan tawar, dan daratan yang lembap. Platyhelminthes yang hidup tidak parasit biasanya berlindung dibawah bebatuan, daun, mata air, dan lain-lain. Sedangkan Platyhelminthes yang parasit membutuhkan beberapa macam inang untuk kelangsungan hidupnya. Ada yang hidup di ternak mammalia, peredaran darah manusia, kantung kemih katak, otot babi, unggas, dan beberapa jenis vertebrata lainnya (Kastawi, 2005)

2.2   Klasifikasi Platyhelminthes
a.     Turbellaria
Hampir semua Turbellaria hidup bebas dan kebanyakan hidup di laut. Turbellaria air tawar yang paling dikenal adalah anggota-anggota genus Dugesia, umumnya disebut Planaria. Berlimpah di kolam-kolam dan sungai-sungai kecil yang tidak tercemar, Planaria sp. memakan hewan-hewan yang lebih kecil atau memakan bangkai hewan. Mereka bergerak dengan silia pada permukaan ventralnya, meluncur di sepanjang lapisan mukus yang disekresikannya. Beberapa Turbellaria yang lain juga menggunakan otot-ototnya untuk berenang melalui air dengan gerakan berdenyut (Campbell, 2008).
Beberapa Planaria sp. dapat bereproduksi secara aseksual melalui fisi. Induk berkonstriksi kira-kira dibagian tengah tubuhnya, memisah menjadi ujung kepala dan ujung ekor, masing-masing ujung kemudian meregenerasikan bagian bagian yang hilang. Reproduksi seksual juga terjadi. Planaria hermafrodit, dan pasang-pasang yang kawin umumnya saling melakukan fertilisasi silang (Campbell, 2008).
Turbellaria pada umumnya hidup bebas di alam, tetapi beberapa jenis ada yang bersifat ektokomensal  atau endokomensal atau parasit. Tubuhnya tidak bersegmen, tertutup oleh epidermis. Epidermis ada yang tersusun oleh sel-sel yang terpisah dan sel sinsitium, diantara sel-sel sebagian ada yang bersilia. Epidermis itu dilengkapi dengan rhabdoid. Ciri khas dari Turbellaria adalah adanya sel-sel kelenjar yang jumlahnya banyak. Sel-sel kelenjar sebagian ada yang terletak di dalam lapisan epidermis, sebagian yang lain terletak di bagian mesenkim. Kelenjar-kelenjar menghasilkan mukosa yang berfungsi untuk merekat, untuk menutup substrat yang akan dilalui, dan untuk melihat mangsa (Kastawi, 2005).
Sel sel kelenjar sering kali dikelompokkan bersam-sama. Kelompok yang ada dibagian anterior disebut kelenjar frontal. Kelenjar frontal merupakan ciri dari Turbellaria primitif. Turbellaria jenis yang lain mempunyai kelenjar pada ujung kaudal tubuh yang sebagian tersusun sebagian cincin yang mengelilingi tubuh. Pada Bdelloura yang hidup komensial pada insang buku dari jenis ketan yang hidup di Atlantik, kelenjar-kelenjar kaudalnya sangat menonjol membentuk suatu lempeng adesiv. Sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar tersebut bersifat rekat sehingga memungkinkan hewan dapat mencengkram kuat objek (Kastawi, 2005).
Hampir semua Turbellaria hidup bebas dan kabanyakan hidup di laut. Turbellaria air tawar dikenal adalah anggota anggota Genus Degusia, umumnya disebut Planaria sp. Berlimpah di kolam-kolam dan sungai kecil yang tidak tercemar, Planaria sp. memangsa hewan-hewan yang lebih kecil atau memakan bangkai hewan. Mereka bergerak dengan silia pada permukaan ventralnya, meluncur di sepanjang lapisan mucus yang disekresikannya. Beberapa Turbellariayang juga menggunakan otot-ototnya untuk berenang melalui air dengan gerakan berdenyut (Campbell, 2008).
Kepala Planaria sp. dilengkapi dengan sepasang bintik mata yang sensitif cahaya dan kelopak lateral yang terutama berfungsi untuk mendeteksi zat-zat kimia tertentu. Sistem syaraf Planaria sp. lebih kompleks dan tersentralisasi padi pada jaring jaring syarap knidaria. Sejumlah percobaan menunjukkan bahwa Planaria sp. dapat belajar memodifikasi resposnya terhadap stimuli. Beberapa Planaria sp. dapat bereproduksi secara aseksual melalui fisi. Induk berkonstriksi kira-kira di bagian tengah tubuhnya, memisah menjadi ujung kepala dan ujung ekor, masing-masing ujung kemudian meregenerasikan bagian-bagian yang hilang. Repduksi seksual juga terjadi. Planaria sp adalah hermafrodit, dan pasangan-pasangan yang kawin umumnya saling melakukan fertilisasi silang (Campbell, 2008).
Turbellaria tergolong predator dan pemakan bangkai atau kotoran dengan lubang mulut di partengahan tubuh bagian ventral. Bergerak dengan bulu getar yang menutupi tubuhnya. Bersifat hermaprodit, berkembang biak secara sexual dan asexual. Memiliki alat indra yang berupa bintik mata, dan indera aurikel yang terdapat dibagian kepala. Bintik mata berupa titik hitam, masing-masing dilengkapi dengan sel-sel pigmen yang tersusun dalam bentuk mangkok yang dilengkapi dengan sel-sel syaraf sensoris yang sangat sensitive terhadap sinar. Contoh species Turbellaria antara lain adalah Planaria sp,Dugesia sp dll (Satino, 2004).

b.    Trematoda
Trematoda memiliki bentuk tubuh seperti daun. Tubuhnya tertutupi oleh kutikula. Saluran pencernaan makanannya lengkap, tanpa anus. Terdiri dari mulut, faring, dan intestin. Organ ekskresi berupa protonefridia. Bersifat hermafrodit, kecuali pada beberapa familia dari Digenia. Cacing Schistosoma haematobium memiliki alat kelamin yang terpisah tetapi antara cacing jantan dan cacing betina selalu melekat satu sama lain (Kastawi, 2005).
Trematoda hidup sebagai parasit di dalam tubuh hewan lain. Kebanyakan memiliki alat penghisap (sucker) yang melekat ke organ-organ internal atau permukaan-permukaan luar dari hewan inang. Lapisan luar yang keras membantu melindungi parasit di dalam inangnya. Organ-organ reproduksi menempati hampir di seluruh bagian dalam dari cacing-cacing ini (Campbell, 2008).
Hewan-hewan tergolong Trematoda merupakan hewan yang hidup secara ektoparasit dan endoparasit. Tubuhnya berbentuk seperti daun. Dinding tubuh tidak tersusun oleh epidermis dan silia. Tubuhnya tidak bersegmen dan tertutup oleh kutikula. Mempunyai alat pengisap yang berkembang baik. Saluran pencernaan makanannya lengkap, tanpa anus. Terdiri dari mulut, faring, dan intestine. Organ ekskresi berupa protonefridia. Bersifat hermaprodit, kecuali pada beberapa Family dari Digenia. Ovari biasanya hanya satu, sedang testisnya dua atau banyak. Daur hidup ada yang sederhana dan ada yang rumit (Kastawi, 2005).
Kelas Trematoda saat ini dikenal kurang lebih 8.000 jenis, mirip dengan Turbellaria tetapi tidak memiliki bulu getar, dan mulut terletak pada bagian anterior tubuh dan biasanya dilengkapi dengan alat penghisap (sucker). Organ ini terdapat dibagian ventral dan berfungsi sebagai alat untuk menempel pada hospes. Ada tidaknya sucker di bagian oral dan/ atau ventral tubuhnya menjadi salah satu dasar pembagian kelas ini ke dalam beberapa ordo. Contoh species trematoda yang cukup representative sebagai wakil kelas ini adalah Fasciola hepatica atau cacing hati. Cacing dewasa hidup parasit dalam empedu biri-biri, babi, sapi dan kadang ditemukan juga pada manusia (Satino, 2004).
Contoh Spesies dari Kelas Trematoda diantaranya Fasciolopsis buski (Cacing intestin), Clonorchis sinensis (Cacing hati), Paragonimus westermani (Cacing Paru-paru), Schistosoma haematobium (Cacing darah hidup di Asia Tenggara), Schistosoma mansoni (di Mesir, Afrika Selatan, Amerika Selatan, India Barat), Schistosoma japonicum (Jepang, Cina) (Sutarno, 2009).
Kelas Trematoda terdiri dari 3 ordo (Jordan 1983 dalam Kastawi, 2003) yaitu:
a.         Ordo  1 Monogenia
b.        Ordo  2 Aspidobothria, contoh: Aspidogaster.
c.         Ordo 3 Digenia, contoh; Fasciola, Schistosoma, Bucephalus, dan Clonorchis.

c.    Cestoda
Cacing pita (Cestoda) bersifat parasit. Cacing pita dewasa sebagian besar hidup di dalam vertebrata, termasuk manusia. Pada kebanyakan cacing pita, bagian ujung anterior atau scolex dipersenjatai dengan penghisap dan kait yang digunakan untuk melekatkan diri ke lapisan usus inangnya. Cacing pita tidak memiliki mulut dan rongga gastrovaskular. Mereka mengabsorpsi nutrien yang dilepaskan oleh pencernaan di dalam usus inang. Absrorpsi terjadi di seluruh permukaan tubuh cacing pita (Kastawi, 2005).
Anggota Cestoda umumnya hidup sebagai endoparasit pada intestine Vertebrata. Cacing ini sering dikenal secara umum sebagai cacing pita. Tubuhnya tidak mempunyai epidermis dan silia, tetapi tertutup oleh kutikula. Tubuhnya terbagi menjadi beberapa atau banyak segmen disebut proglotid, jarang ada yang tidak bersegmen. Ujung anterior tubuh dilengkapi dengan alat pelekat, yaitu alat pencengkram dan penghisap, kecuali pada Cestodaria. Mulut dan saluran pencernaan tidak ada. Sistem ekskresi terdiri dari protonefridia yang berakhir pada bola-bola api. Sistem syarafnya terbatas pada satu pasang ganglia dan dua tali syaraf longitudinal yang terletak pada kedua sisi tubuh. Tiap segmen tubuh mempunyai satu atau dua set system reproduksi yang bersifat hermaprodit. Daur hidupnya kompleks, biasanya melibatkan dua inang atau lebih (Kastawi, 2005).
Cacing pita bersifat parasitik. Cacing pita dewasa sebagian besar hidup di dalam Vertebrata, termasuk manusia. Pada banyak cacing pita, ujung anterior, atau skoleks (scolex), dipersenjatai dengan mengisap dan kait yang digunakan untuk melekatkan diri kelapisan usus  inangnya. Cacing pita tidak memiliki mulut dan rongga gastrovaskular, mereka mengabsorpsi nutrient yang dilepaskan oleh pencernaan didalam usus inangnya. Absorpsi terjadi diseluruh permukaan tubuh cacing pita. Setelah reproduksi seksual, proglotidyang penuh dengan ribuan telur yang terfertilisasi dilepaskan dari ujung posterior dan meninggalkan tubuh inang bersama feses (Campbell, 2008).
Pada salah satu tipe siklus hidup cacing pita, feses yang terinfeksi mengontaminasi makanan atau air dari inang perantara, misalnya babi atau sapi. Telur cacing pita pun berkembang menjadi larva yang membentuk kista di dalam otot-otot hewan ini. Manusia tertular larva melalui konsumsi daging yang tidak dimasak dengan baik dan terkontaminasi dengan kista dan cacing akan berkembang menjadi dewasa di dalam tubuh manusia. Cacing pita yang besar dapat menyumbat  usus dan merampas cukup banyak nutrient dari inang  manusia hingga menyebabkan defisiensi nutrisi. Dokter biasanya meresepkan obat-obatan dimasukkan melalui mulut, niklosamida, untuk membunuh cacing dewasa (Campbell, 2008)
Tubuh anggota kelas Cestoda berlapis kutikula, mirip dengan Trematoda namun Cestoda belum memiliki saluran pencernaan dan semua hidup endoparasit. Bagian anterior tubuhnya berstruktur khas yang disebut scolex. Kelas Cestoda terdiri dari 2 sub kelas yaitu Cestodaria dan Eucestoda. Sub kelas cestodaria memiliki ciri-ciri tubuh tidak bersegmen, tidak ada scolex contoh Amphilina yang hidup dalam coelom ikan. Sub kelas Eucestoda, tubuh panjang seperti pita dengan 4–4.000 proglotid, scolex dengan sucker. Subkelas ini terdiri dari 9 Ordo, dan salah satu Ordo yang memiliki anggota cukup dikenal adalah Ordo Taenidae dengan Spesies Taenia saginata dengan hospes perantara Sapi dan Taenia solium dengan hospes perantara Babi, Spesies ini tersebar diseluruh dunia (Satino, 2004).
Contoh Spesies dari kelas Cestoda diantaranya Taenia solium (inang: manusia dan babi), Taenia saginata (inang utama manusia, inang sementara sapi), Taenia pisiformis (inang utama sementara kutu tikus dan insekta), Echinococcus granulosus (inang utama anjing, inang sementara manusia, sapi, kambing), Dibothriocepahalus latus (inang utama manusia, inang Crustacea lalu pindah ke ikan) (Sutarno, 2009).


BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1  Waktu dan Tempat
Praktikum Zologi Invertebrata tentang pengamatan Filum Platyhelminthes. Dilaksanakan pada hari Rabu, 25 Mei 2016 pukul 10.00-16.30 WIB. Bertempat  di Laboratorium Biologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang.

3.2 Alat dan Bahan
a.  Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu mikroskop, preparat, pinset, loupe, dan cawan petri.

b. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu spesimen  Planaria sp dan Fasciola hepatica.

3.3  Cara Kerja
1.    Disiapkan alat dan bahan yang akan di praktikumkan
2.    Diletakkan spesimen di dalam cawan petri atau gelas arloji yang berisi air
3.    Diamati struktur tubuh bagian dorsal dan ventral dari Planaria sp dan Fasciola hepatica
4.    Diamati kedua ujung tubuhnya. Tentukan bagian kepala dan ekor, apa tandanya?
5.    Diberi beberapa sentuhan pada bagian-bagian tubuh yang berbeda dan amatilah perubahan gerakannya
6.    Digambar hasil pengamatan Anda pada lembar yang tersedi dan  berilah keterangan




BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1  Hasil
Tabel hasil pengamatan Fasciola hepatica.
Gambar Pengamatan
Keterangan

  1. Mulut
  2. Saraf cicin
  3. Saluran elementer
  4. Uterus
  5. Vas deferens
  6. Testis anterio
  7. Kelenjar kuning telur
  8. Faring
  9. Penis
  10. Kantung seminal
  11. Saraf longitudinal
  12. Kelenjar kulit
            Testis porterior


  



4.2 Pembahsan
Berdasarkan hasil pengamatan, Planaria atau Dugesia tigrina yang kami potong menjadi 3 bagian (anterior, tengah, dan posterior) menunjukkan bahwa yang lebih cepat beregenerasi adalah bagian dari anteriornya, hipotesis yang dapat menjelaskan hal tersebut yaitu pada potongan di bagian anteriornya kemungkinan terambil faring yang berada di tengah mendekati bagian anterior, faring tersebut menunjang untuk proses makan dan nutrisi makanan yang diserap tercukupi, sehingga sel-selnya lebih cepat beregenerasi. Sedangkan pada bagian posterior yang tidak memiliki faring, saat beregenerasi bagian tersebut harus terlebih dahulu membentuk faring untuk menunjang proses makan dan menyerap nutrisi, sehingga butuh proses yang lebih lama untuk beregenerasi.
Pencernaan Planaria sp terjadi secara ekstraselular dan intraselular. Makanan yang sudah tercerna didistribusikan ke cabang-cabang alat pencernaan. Bagian-bagian yang tidak tercerna dikeluarkan melalui mulut, dapat hidup tanpa makanan dalam waktu yang panjang dengan cara melarutkan organ reproduksi, parenkim, dan ototnya sendiri, sehingga tubuh cacing menyusut (Kastawi, 2001).
Menurut Jasin (1984), Di sepanjang tubuh Planaria sp bagian ventral diketemukan zona adesif yang berfungsi menghasilkan lendir liat yang berfungsi untuk melekatkan tubuh Planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di permukaan ventral tubuh Planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus Rusyana (2014), berfungsi dalam pergerakan.
Planaria sp memiliki daya regenerasi yang sangat tinggi, bila hewan ini dipotong-potong, maka bagian yang hilang akan tumbuh kembali dan menjadi individu utuh seperti sebelumnya (Rusyana ,2014)
Fasciola hepatica dewasa mempunyai panjang tubuh antara 12.22- 29.00 mm (Periago, et al. dalam Ericka, 2012). Species ini berbentuk pipih, memiliki usus yang bercabang, biasanya hidup di saluran empedu pada sapi. Sesuai dengan pendapat Brown dalam Ericka (2012) Fasciola hepatica berbentuk pipih seperti daun dengan bentuk bahu yang khas yang disebabkan oleh kerucut kepalanya (chepalic cone), batil hisap kepala dan perut yang sama besarnya di daerah kerucut kepala, usus dengan banyak cabang di vertikulum, testis yang bercabang banyak dan tersusun sebagai tandem, kelenjar vitellaria yang bercabang-cabang secara merata di bagian lateral dan posterior badan, uterus pendek dan berkelok-kelok.
Fase larva Fasciola hepatica pada tubuh siput Lymnea sp. yang telah kami amati, terdiri dari fase sporokista, fase redia I, fase redia II, dan fase serkaria. Siput Lymnea sp. dijadikan inang karena memiliki lendir dan tubuhnya cocok bagi keberlangsungan hidup dari larva Fasciola hepatica. Kami membedakan setiap fase larva Fasciola hepatica yang ada pada Lymnea sp. dengan cara memperhatikan struktur dari larvanya. Pada fase sprokista, larva cenderung diam, memiliki kista dan di dalamnya terdapat redia muda, pada fase ini tidak terdapat faring. Pada fase redia I, kami melihat adanya faring dan larva mengandung serkaria muda tanpa ekor, sedangkan pada fase redia II, di dalamnya terdapat serkaria yang aktif bergerak, pada fase ini juga memiliki faring. Kemudian fase serkaria, pada fase ini serkaria keluar dari dalam redia II dan kami melihat larva serkaria ini memiliki ekor.
Trematoda memiliki bentuk tubuh seperti daun. Tubuhnya tertutupi oleh kutikula. Saluran pencernaan makanannya lengkap, tanpa anus. Terdiri dari mulut, faring, dan intestin. Organ ekskresi berupa protonefridia. Bersifat hermafrodit, kecuali pada beberapa familia dari Digenia. Cacing Schistosoma haematobium memiliki alat kelamin yang terpisah tetapi antara cacing jantan dan cacing betina selalu melekat satu sama lain (Kastawi, 2005).
Moniezia expanza ini hidup sebagai parasit. Alasan cacing ini dimasukkan ke dalam classis Cestoda karena karakteristik morfologinya yaitu memiliki scolex, sucker, kait, tidak berpigmen, dan tubuhnya memiliki proglotid. Sesuai dengan pendapat Kastawi (2005) Cacing pita (Cestoda) bersifat parasit. Cacing pita dewasa sebagian besar hidup didalam vertebrata, termasuk manusia. Pada kebanyakan cacing pita, bagian ujung anterior atau scolex dipersenjatai dengan pengisap dan kait yang digunakan untuk melekatkan diri ke lapisan usus inangnya. Cacing pita tidak memiliki mulut dan rongga gastrovaskular. Mereka mengabsropsi nutrien yang dilepaskan oleh pencernaan di dalam usus inang. Absrorpsi terjadi di seluruh permukaan tubuh cacing pita.
Taenia saginata merupakan cacing terbesar dari spesies yang termasuk dalam genus Taenia . Panjang cacing dewasa biasanya 4 sampai 10 m. Tubuhnya bersegmen. Tubuh berwarna putih dan terdiri dari tiga bagian : scolex , leher dan Strobila . Scolex terdiri dari empat pengisap, tetapi tidak memiliki kait. (Jr. Washington, Allen, Janda, Koneman, Procop, Paul, Gail, 2006). Dikelompokkan ke dalam classis Cestoda karena memiliki scolex, bersegmen dan hidup sebagai parasit.  Species ini berparasit di tubuh hewan karnivora khususnya anjing. Perantaranya ialah manusia, kambing, domba, sapi, dan lain-lain. Larva dari pecies ini menyebabkan penyakit hidatidosis (Chopperandco, 2013).
Taenia serrata merupakan cacing pipih yang digolongkan ke dalam classis Cestoda. Berdasarkan pengamatan, cacing ini terdiri atas scolex, sucker, proglotid, tidak berpigmen. Beberapa hal dari hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa species ini digolongkan ke dalam classis Cestoda, sama dengan cacing Taenia yang lain. Didukung adanya pendapat Kastawi (2005) menyatakan bahwa pada classis Cestoda memiliki tubuh yang terbagi menjadi beberapa segmen yang disebut proglotid, pada ujung anterior tubuhnya muncul sebagai scolex dan memiliki sucker dan kait.
Dugesia tigrina merupakan salah satu species Platyhelminthes yang masuk ke dalam classis Turbellaria. Hewan ini dikelompokkan ke dalam classis Tubellaria  karena memiliki beberapa karakteristik, yaitu pada permukaan tubuhnya terdapat silia (rambut getar) yang digunakan untuk bergerak, kemudian di bagian anterior tubuhnya berbentuk segitiga dan memiliki sepasang bintik mata yang berfungsi untuk membedakan keadaan gelap dan terang (Agisni, 2012).



BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dapat di kesimpulan Platyhelminthes adalah hewan multiseluler berupa cacing pipih dorsoventral yang tidak memiliki coelom dan simetri tubuhnya simetri bilateral. Platyhelminthes termasuk triploblastik karena tersusun dari tiga lapis jaringan yaitu ektoderm (menyusun lapisan luar seperti epidermis), mesoderm (lapisan tengah), dan endoderm (menyusun lapisan dalam seperti sistem pencernaan). Epidermis pada classis Turbellaria mengandung silia, lendir, dan bintik mata, sedangkan pada Trematoda dan Cestoda epidermisnya mengandung kutikula dan memiliki alat penghisap (sucker) dan kait (hook) untuk menempel pada hospesnya. Platyhelminthes tidak memiliki rangka, sistem respirasi, dan sistem peredaran darah. Sistem ekskresinya menggunakan sel api atau aprotonephridia yang terdapat pada nefridiofor. Sistem saraf dengan sepasang ganglion anterior yang dihubungkan dengan satu atau tiga pasang tali saraf longitudinal dan transversal.
5.2 Saran
 Adapun saran yang dapat di sampaikan pada pratikum kali ini yaitu selalu harus pokus dengan pengmatan yang di lakukan sesui dengan prosedur buku pratikum dan  berhati-hati dalam menggukan alat yang di guanakan karena apa bila terjadi kerusakan alat maka  akan menghambat pratikum.


DAFTAR PUSTAKA


Campbell. 2008. Biologi edisi 5 Jilid 2. Jakarta. Erlangga.

Jasin, Maskoeri. 1992. Zoologi InvertebrataSurabaya : Sinar Wijaya.

Kastawi.2005. Zoologi  Averteberata.  Malang
Rusyana. 2014. Zoologi Invertebrata  (Teori dan Parktik). Bandung. Alfabeta.

Suwignyo. 2005. Avertebrata Air Jilid I. Jakarta. Swadaya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN PRATIKUM VI FILUM ECHINODERMATA

LAPORAN PRATIKUM III FILUM MOLLUSCA